Cerita ini saya dapat dari notes seorang dokter yang sedang menempuh pendidikan psikiatrinya. Kesehariannya beliau, kita sebut saja dr. Tika Prasetyawati, beraktivitas di RS Sardjito Yogyakarta dan aktif sebagai pengurus Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI). Beliau mendapatkan cerita ini dari seorang sahabat, yang memiliki saudara sebagai seorang ODS (Orang Dengan Skizofrenia). Berikut ceritanya:
Beberapa hari lalu saya naik Gn. Gede sama teman-teman. Sampai Cibodas malam. Teman saya -yang kebetulan datang duluan- bercerita, tadi siang ada truk tronton datang ke kaki Gn. Gede, beberapa 'petugas berseragam' menurunkan sekitar 50 orang 'gila'. dan langsung pergi lagi.
50 orang itu lalu berkeliaran, membuat takut pengunjung dan penjaga-penjaga warung seputaran Cibodas. Hujan lebat sejak pagi, dan mereka, dengan pakaian seadanya bahkan beberapa beberapa dari mereka telanjang - it was quite an extreme weather there - saya saja pakai jaket tebal dan tetap menggigil, berusaha berteduh di warung-warung dan mungkin mendekat karena mencium bau makanan, tapi di hush-hush(diusir) sama semua orang. Kata teman saya, mereka para penghuni rumah sakit jiwa yang sudah gak punya tempat untuk menampung pasien. Ditinggalkan untuk mati.
Saya mendengar cerita itu sambil makan keripik kentang dan ketawa-ketawa. Ngak mungkin! Lebay ah! ..tiba-tiba ada suara jeritan dari bawah. (Posisi saya ada di loteng sebuah warung makan-basecamp). Kami semua lari ke bawah. Ternyata itu suara teh Ida, anak Umi, yang punya warung.
Seseorang dengan celana pendek, kemeja flanel tidak dikancing, robek-robek, dan kumal berdiri di depan warung. Cuaca waktu itu gerimis yang mulai melebat. Dingin.
Saya terpana, mata orang itu nanar, lebih tepatnya linglung. Jelas, dia gelandangan psikotik.
Dia berusaha merasuk ke dalam warung, tapi di gempur sapu sama Ida, yang tetap teriak-teriak sambil sesekali ngumpet di balik meja "Pergi, pergi, jangan kesini...dari tadi disuruh pergi juga, balik-balik lagi!"
Teman saya, langsung merebut sapu itu, dan menyuruh Ida masuk. Dia (sayangnya) mendamprat si gelandangan dengan suara keras, "Heh, keluar, gak ada apa-apa disini...!!"
Saya mengamuk. "Vid..!! Berhenti!! Dia gak berbahaya! Dia cuman mau neduh!"teriakku tidak kalah kerasnya.
David, -temen saya- kaget "Iya Loly, dia gak berbahaya, tapi mereka ketakutan," jawabnya sambil nunjuk beberapa ibu, Ida, dan anak kecil yang kesemuanya ngumpet was-was di bawah meja.
Keluh.
"Dia cuman lapar Vid... mungkin kedinginan, boleh gak dia di kasih makan aja? Gw yang bayar deh"
"Amit amiiiiit" si Umi yang jawab "Umi gak mau, jangan disini..!"
David ngerti. Saya juga ngerti dan sediih banget rasanya karena saya tidak bisa berbuat apa-apa dengan keadaan ini.
"Saya mau minta api", tiba-tiba dia ngomong.
Kami semua kaget. David lalu mengeluarkan korek dan sebatang rokok. Gelandangan psikotik itu dengan cepat merebut rokoknya.
"Boleh ya Mi... dia makan disini. Gak papa, David temenin," teman saya berusaha membujuk Umi.
Saya dekati gelandangan itu sambil menyodorkan kantung keripik kentang yang masih saya pegang, "Mau?"
Tapi dia menjawab ke arah serenteng kopi yang digantung di depan warung.
"Saya cuma mau minta api," owwh...he seems smart, he understand. Lalu ngeloyor pergi menembus hujan.
Saya ingat adik saya.
Paginya, ketika kami bersiap-siap, dia datang lagi. Tapi Umi dan Ida sudah tidak terlalu histeris. Mereka cuma meng'hush-hush' dengan bahasa tubuh tapi tidak terlalu agresif seperti kemarin.
Saya tau, dia cuma mau minta api. Lalu saya berikan sebungkus rokok ke tangannya. Dia menyambar dengan cepat seperti semalam lalu langsung balik badan, pergi.
"Wah, kalo dikasih mulu nanti dia balik-balik lagi, neng," tegur Umi.
Saya cuma tersenyum. Getir.
Di perjalanan menuju pos penjagaan. Saya bertemu beberapa gelandangan psikotik lainnya. Satu.. dua.. semua ada lima orang yang berpapasan dengan saya. Berkeliaran dengan muka linglung dan nanar. So out of place.
Petugas di pos penjaga bilang, tiap beberapa bulan sekali selalu ada tronton yang menurunkan orang gila di daerah itu. Mereka (mengaku) tidak tahu dari mana orang-orang itu datang dan tidak peduli juga karena pelan-pelan orang-orang 'gila' itu hilang juga, pergi entah kemana.
Siapa mereka? Dari mana mereka datang dan kemana mereka pergi? Apa benar ada "petugas" yang begitu teganya meninggalkan mereka untuk mati di tengah tempat seperti ini?
Saya ingat adik saya lagi.
Hatiku rasanya sakit membaca cerita ini.
Mulutku tak berhenti mengucapkan "Ya Allah,, gimana bisa?". Seakan tak percaya kalau hal ini benar terjadi di bumi Indonesia yang katanya orangnya ramah-ramah.
Mereka yang mengalami gangguan jiwa itu sama seperti ANDA, wahai orang yang memutuskan untuk membuang mereka.
Benar sekali bahwa MEREKA SAKIT. Lalu, apakah mereka tidak berhak untuk mendapatkan pengobatan? Mereka tidak berhak untuk sembuh? Apa yang sebenarnya yang anda pikirkan?
Tidakkah lagi anda punya hati?
Coba dengar ini, mereka yang anda buang itu bisa jadi tidak memiliki sepeser uang pun untuk berobat. mereka bisa jadi tidak memiliki keluarga yang bisa memberikan perhatian. mereka bisa jadi tidak lagi memiliki teman atau siapapun yang peduli pada mereka. mereka bisa jadi dikucilkan oleh masyarakat mereka dan mereka, BISA JADI tidak lagi memiliki kesadaran untuk sekedar berpikir "siapa saya".
Terisolir dari cinta dan perhatian hangat, seakan belum cukup buruk bagi mereka. Kini mereka pun harus terisolir dari tempat yang familiar bagi mereka, untuk DIBUANG ke antah berantah.
Saya marah dan kesal. Demi Tuhan, mereka itu sakit dan butuh perawatan. Lalu mengapa harus dibuang dan ditelantarkan sedangkan para pejabat korup yang terus menjadi duri dalam daging dapat menikmati tidur di bawah atap penjara (bahkan tak jarang di atas kasur tebal nan nyaman)?
Saudaraku yang "terbuang",
Manusia-manusia ini boleh membuang kalian kemanapun mereka mau, tapi saya yakin selalu ada Allah yang melindungi kalian. Itu bahkan jauh lebih dari cukup dan saya yakin perlindunganNya akan abadi.